Monday 21 December 2015

Surat Untuk Ibu

Ibu, ya Ibu. Rahim yang kau miliki adalah rumah bagiku untuk bersemayam selama kurang lebih 9 bulan. Tempat tinggal gratis yang mengijinkanku untuk membentuk semua organ tubuhku hingga aku menjadi sempurna dan siap menikmati dunia luar yang begitu indah. Di rumah itu terdapat sebuah tali yang menghubungkanku denganmu menjadi satu tubuh dan jiwa. Seseorang yang selalu berbagi makanan dan minuman, seseorang yang selalu berbagi vitamin, seseorang yang selalu bekerja keras untuk membuatku menjadi buah hati yang sempurna. 10 September 1994, pekerjaan untuk kesempurnaan itu membuahkan hasil. Tangisan pertamaku pecah setelah aku keluar dari rumah gratis itu. Sebuah senyuman bersamaan dengan tangisan kebahagiaan muncul di wajahmu. Pelukan hangat yang kau berikan padaku membuatku tenang karena aku tahu aku masih berada di rumah itu.

Setelah kau berjuang untuk membiarkanku melihat dunia luar, kau membantuku untuk mengenal dunia ini. Kau mengajariku bagaimana caranya merangkak hingga aku bisa berjalan, kau mengajariku bagaimana caranya berbicara, kau mengajariku bagaimana caranya makan, menulis, membaca, hingga semua hal yang kubutuhkan untuk mengenal dunia ini. Hadiah kecil selalu menantiku di setiap aku bisa melakukannya, yaitu sebuah pelukan yang sangat hangat disertai dengan kata kata yang selalu kau bisikkan padaku "Anak Ibu yang pintar". Aku tersenyum kegirangan saat kau memberikan hadiah itu. 

Umurku semakin bertambah, sekarang aku sudah menjadi seorang remaja yang memiliki banyak teman. Remaja yang sudah semakin mengetahui banyak hal dan melakukan banyak hal sehingga membuatku semakin sibuk dan hanya sedikit waktuku untuk bersamamu dan memperhatikanmu Bu, tetapi kau tetap dengan kasih sayangmu menanti kepulanganku ke rumah. Sambil mengusap kepalaku dan menanyakan bagaimana dengan hari ini, apakah aku lelah, apakah aku sudah makan? Aku menyandarkan kepalaku di pangkuanmu untuk mengurangi lelahku hari ini. 

Seiring berjalannya waktu, aku semakin dewasa. Kedewasaan itu membentukku menjadi seorang yang keras kepala, merasa paling benar dan tak jarang membuatmu marah, mungkin menangis juga. Aku semakin jarang berada di rumah karena sibuk dengan aktivitasku di luar sana. Tetapi, Ibu, lagi lagi kau tetap menantiku, menunggu kepulanganku ke rumah, menyiapkan makanan lezat untukku yang tak jarang kuabaikan dan langsung beristirahat karena sudah sangat lelah dengan kegiatan kegiatanku. Kau datang mencium keningku dan menyelimutiku dan mengusap kepalaku dengan lembut. Kau tidak melewatkan sedetik pun waktumu untuk melihat pertumbuhanku dan memberikan kasih sayangmu. 

Ibu, aku sudah wisuda. Di belakang namaku sudah ada gelar yang selama ini kuperjuangkan. Kau memelukku dengan amat sangat erat, pelukan sebagai ucapan terimakasih. Pelukan itu mengingatkanku kembali untuk setiap detik waktumu yang kau berikan padaku. Setiap detik kau sediakan untuk merawatku, menjagaku, mengajariku, memarahiku, memberiku nasihat, menungguku pulang, menyiapkan makanan lezat untukku, menyelimutiku, mengusap lembut kepalaku, memelukku dengan sangat erat saat aku sangat lelah, sebagai tempatku bersandar di saat masalah menghampiriku. Setiap detiknya kau selalu mengingatku, tetapi aku hanya memberikan sedikit waktu untukmu. Sampai aku tidak menyadari keriput sudah terukir jelas di raut wajahmu. Matamu yang dulunya menunjukkan jiwa yang selalu semangat sekarang sudah menjadi mata yang sayu dan lelah tetapi tetap menatapku dengan tatapan lembut penuh dengan kasih sayang. Sudah lama aku tidak memperhatikanmu Bu, sudah banyak hal yang tidak kuperhatikan darimu Bu. Selama aku bersamamu, aku juga jarang menanyakan apakah kau sudah makan, apakah kau lelah hari ini. Maafkan aku Bu, selama ini aku hanya fokus pada diriku sendiri. Aku belum pernah mengucapkan terimakasihku padamu Bu. Terimakasih untuk setiap kasih sayang yang kau berikan padaku. Teimakasih untuk setiap pelukan hangat yang membuatku tenang. Terimakasih untuk setiap doa yang kau panjatkan kepada Tuhan untukku Bu. Tulusnya kasih sayangmu tidak akan mampu untuk kubalas Bu. Aku tidak akan menjadi seperti sekarang tanpa dukungan darimu, tanpa pengorbanan darimu. Semuanya karena kasih sayang tulus yang kau curahkan padaku. Tuhan, terimakasih karena telah menitipkan malaikatmu untuk tinggal di sampingku. Terimakasih untuk rumah yang kau berikan padaku untuk tempatku tinggal di dunia ini. Aku menitipkan malaikatku ini kepadaMu Tuhan. Lindungi Ibuku, berikan kepadanya umur yang panjang. Apapun yang sedang dilakukannya dan dimanapun dia berada tetap berkati dia. Selalu bisikkan kepadanya bahwa aku amat sangat menyayanginya.

Ibu, terimakasih telah bersedia untuk menjadi malaikatku di dunia ini dan terimakasih telah menjadi rumah untukku.

Tuesday 15 December 2015

16 + 9 = 25

"Kak, besok temenin Mama belanja ke pasar ya, sekalian bantuin Mama masak juga. Banyak menu yang akan kita buat besok", ajak Mama tanpa mengalihkan perhatiannya dari jahitan yang sedari tadi dikerjakannya.
"Emangnya buat apa Ma, kenapa kita harus masak banyak menu? Ya ampun... Kakak lupa, ternyata besok sudah tanggal 25 Desember ya Ma." sambil menepuk jidat yang ditutupi oleh geraian poni hitamnya. "Oke deh Bos, siap laksanakan perintah."
Mendengar perkataan anak perempuannya, Mama hanya bisa menggelengkan kepalanya. "Bisa ya lupa sama tanggal besok". Si kakak hanya bisa nyengir memperlihatkan dua gigi depannya yang ukurannya paling besar di antara semua gigi giginya.

Selain memasang pohon natal dengan antek-anteknya sebagai hiasan yaitu lampu berwarna-warni dan gantungan berbagai bentuk yang sinkron dengan suasana natal serta sibuk membuat kue kering ala Natal dan Tahun Baru, keluarga Wijaya juga memiliki kebiasaan untuk menyediakan makanan dengan berbagai menu yang akan disantap setelah melakukan kebaktian Natal keluarga.
Bintang Wijaya selalu dipanggil dengan panggilan "Kakak" karena dia anak tertua di keluarga Wijaya. Bintang memiliki 2 orang adik laki laki dan seorang adik perempuan. Keluarga ini menetap di daerah Pulau Sumatera, tepatnya di Sumatera Utara

 
" Bintang.. Bintang.. Bintanggggg...." teriak Tika teman satu kamar Bintang
" Aduh, anak ini kemana sih. Udah capek banget pulang dari kantor, aku juga ga bawa kunci kamar" umpat Tika dalam hatinya karena Bintang tak kunjung memperlihatkan batang hidungnya.
"Bintang..", panggil Tika sambil memukul punggung Bintang yang juga masih menggunakan stelan rapi dari kantor, tas yang masih menempel rapi di punggung Tika dan benda putih yang menggantung menutupi telinga Bintang.

Pukulan itu berhasil membawa pulang pikirannya ke dunia nyata yang sedari tadi sedang berkelana menyusuri kebiasaan Natal dan Tahun baru di keluarganya. Bintang melepas earphone yang ternyata adalah penyebab utama suara Tika tak kunjung berhasil menggetarkan gendang telinga Bintang.

"Aw, sakit banget Tika. Kamu ganggu aku aja sih" Bintang memegang bagian tubuhnya yang terkena pukulan tangan Tika.
"Aku manggil kamu dari tadi. Suara aku tadi udah menggelegar manggilin nama kamu, kayak kamu artis yang lagi ngeTOP habis", ujar Tika dengan nada kesalnya.
"Aduh, maaf ya Tika. Maaf banget, lagian ada apa sih sampai kamu harus teriak teriak nyariin aku? "
"Aku ga bawa kunci kamar tadi pagi, kamu juga udah sampai tapi kenapa gak buka kamar sih. Sini, pinjamin aku kunci".
"Oh iya, aku belum buka. Lagian salah kamu, kenapa gak dibawa" omel Bintang sambil mengambil kunci dari tas.
"Yee, kamu sih sore sore gini melamun. Awas kesambet loh. Hati hati." ejek Tika dan berlalu pergi ke kamar.
"Biarin" teriak Bintang yang tidak mau kalah.

Ya, disinilah Bintang duduk di balkon kost yang sekarang menjadi tempat tinggal sementaranya yang jauh dari rumah, dari keluarga yang dicintainya ditemani oleh angin yang menari lembut di tubuhnya dan menambah dinginnya hati seorang gadis yang sangat merindukan keluarganya menjelang natal tahun ini. Bintang yang sudah 3 bulan tinggal di Jakarta untuk bekerja setelah  meraih gelar A.Md miliknya. Seorang gadis yang akan melewatkan hangatnya momen Natal dan Tahun baru tanpa keluarga terkasih untuk yang PERTAMA KALI.